Dulu di tengah hangatnya teh panas dan sepotong rotii di pagi hari,
saya dan teman-teman satu kos sering ngobrol tentang sosok suami ideal.
Menurut
kami seorang laki2 yang paham agama "ikhwan" pastilah sosok yang amat
‘super’. Super ngemong, sabar, romantis, dan sebagainya, tiada cela
dan noda. Dalam pikiran polos kami saat itu, seorang ikhwan itu pasti ittibaussunnah dalam segala hal, termasuk dalam berumah tangga.
Namun
seiring berjalannya waktu akhirnya saya menyadari, ternyata dulu kami
melupakan satu hal. Yaitu bahwa seorang ikhwan adalah juga manusia,
yang tentu saja memiliki sifat “manusiawi”. Mereka pun memiliki sederet
masalah, dan mereka bukan malaikat. Jadi, tidak layak tentunya jika
berbagai tuntutan kita bebankan kepada mereka.
Membangun
harapan adalah sah-sah saja. Hanya saja, jangan kaget setelah bertemu
realita. Setelah menikah, menyatukan dua hati yang berbeda bukanlah hal
mudah. Menginginkan sosok suami yang bisa menyelesaikan konflik tanpa
menyisakan sedikit pun sakit hati atau masalah adalah harapan
berlebihan.
Apalagi mengharap suami yang full romantis di antara
sekian beban yang ditanggungnya. Suami kita hanyalah laki-laki biasa
yang punya masa lalu dan latar belakang berbeda dengan kita. Mereka
seperti kita juga, punya banyak kelemahan di samping kelebihannya.
Lantas
apakah harus kecewa kalau sudah dapat suami tapi masih jauh dari
harapan waktu muda? Tidak juga. Hal terpenting adalah jangan lagi
berandai-andai dan mengeluh. Berpikirlah progresif, jangan regresif.
Pikirkan solusi, jangan mempertajam konflik atau mendramatisir keadaan.
Komunikasikan apa yang ada dalam benak kita dalam situasi terbaik.
Fitrah
wanita dengan porsi perasaan yang lebih dominan seharusnya menjadikan
kaum hawa lebih pintar memilih waktu curhat yang tepat. Sikap “nrimo” atas kekurangan suami bisa jadi pilihan tepat untuk mengurangi tingkat kekecewaan.
Konsepnya
semakin Anda melihat perbedaan, semakin terluka hati ini
(self-fulfilling prophecy). Jadi, carilah titik persamaan untuk meraih
kebahagiaan. Dan ingat, dari sekian akhwat yang ada, Andalah yang
terpilih untuk menjadi belahan hatinya. Karena itu cintailah suami Anda
apa adanya.
Bagi para akhwat yang belum menikah, tetaplah
“memanusiakan” manusia. Para ikhwan itu adalah seperti diri kita juga.
Mereka bukan Superman. Ingat pula bahwa jodoh ada di tangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tetaplah perbaiki diri baik secara dien maupun
fisik. Masalah siapa suami dan bagaimana sosok suami kita kelak adalah
hak prerogatif Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Singkirkan sederetan
tuntutan “super” bagi calon suami. Semakin banyak tuntutan, bila tak
terpenuhi akan membuat tingkat kekecewaan semakin tinggi. Percayalah
pada janji Allah, bahwa suami yang baik adalah untuk istri yang baik
pula, insya Allah. Lagi pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
telah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa memilih suami adalah
karena ketinggian agama dan akhlaknya, bukan prioritas sekunder
lainnya.
0 komentar:
Post a Comment